MENGUKUR JARAK POLITIK KOALISI BESAR DARI TITIK NOL KILOMETER Penulis : Andi Salim

Setiap ideologi tentu menjadi pegangan bagi komponen individu maupun kelompok, terlebih lagi bagi negara. Pentingnya suatu ideologi Memberikan arah dan tujuan yang jelas kearah mana kehidupan individu, kelompok atau pun suatu negara itu dicita-citakan. 

Sebuah ideologi merepresentasikan wujud solidaritas demi kelangsungan hidup suatu bangsa, terlebih lagi dalam fakta berkebhinnekaan. Pada bagian lain, suatu ideologi dimaksudkan untuk menyatukan orang-orang atau kelompok-kelompok dari berbagai golongan, suku, agama, ras. Suatu ideologi diharapkan mampu mengatasi konflik dan ketegangan dari sisi manapun. Karenanya, disebutkan pula bahwa agama dianggap sebagai Ideologi yang mampu memberikan jalan menuju tatanan kehidupan yang-ideal bagi para penganutnya dalam mengatur kehidupan sosial, politik, budaya dan lain sebagainya. Dalam fakta pentingnya ideologi bernegara, Megawati dirasakan mampu menerapkannya melalui partai PDI Perjuangan yang dipimpinnya.

 Dimana prinsip ideologi yang telah ditanamkannya mengalirkan energi nasionalisme untuk mengajak semua pihak agar memberikan efek penguatan bagi sikap berbangsa dan bernegara, hingga saat ini refleksi patriotisme itu masih tertanam kuat melalui sikapnya yang merupakan satu-satunya partai ideologis dimana partai ini diakui oleh publik sebagai partai berbasis penerap Pancasila.

 Walau banyak partai nasionalis lainnya, Namun harus diakui bahwa PDI Perjuangan lebih tegas kearah itu. Jejak Presiden Jokowi sejak 2014 hingga saat ini menjadi kilas balik, bahwa Indonesia bukan saja membutuhkan kemantapan Ideologi negara. Namun indonesia memerlukan pengakuan kedaulatan di bidang ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Hal ini menjadi penting agar Indonesia tidak lagi terombang-ambing oleh kebijakan dari negara mana pun. Disinilah titik krusial yang berbeda terhadap kedua tokoh bangsa ini. Walau belum menampakkan hasil terhadap kesejahteraan rakyat, namun keyakinan dari 76% masyarakat yang merasa puas atas kinerja pemerintahnya terlihat menjadi tonggak sejarah bahwa gaya kepemimpinan Jokowi harus dilanjutkan, yang tentu saja masyarakat bersedia menahan untuk menjatuhkan pilihan mereka sambil menunggu kepada siapa estafet Presiden 2024 itu akan diarahkan. Sebab selera dari berbagai parpol nyatanya tidak searah dengan keinginan rakyat.

 Termasuk sulitnya kesepakatan dari kubu lawan dalam menetapkan cawapres mereka meski capres atas Anis Baswedan telah ditetapkan hingga start kampanye mereka pun dimulai. Kebimbangan atas keputusan politik tidak saja dirasakan masyarakat, namun hal itu melanda di semua partai politik. Sebab sosok capres yang akan diusungnya tidak linier dengan selera rakyat. Sebut saja Gerindra dan PKB melalui koalisi KIR mereka yang mengusung Prabowo Subianto dengan latar belakang isu pelanggaran HAM yang melekat pada dirinya. Atau koalisi KIB yang terdiri dari Golkar, PAN dan PPP yang menonjolkan Air Langga Hartarto dengan elektoral yang masih jauh dari harapan. Sedangkan PDI Perjuangan sekalipun bisa menentukan Capresnya secara sepihak, namun sosok Ganjar Pranowo yang miskin prestasi menjadi kendala tersendiri meski relawan pendukungnya begitu memaksakan diri dibalik rivalitas internal bagi pencalonan Puan Maharani yang dirasakan sarat akan pengalaman dari rekam jejaknya di kepemerintahan. Harus diakui, diluar dari tokoh-tokoh partai yang ditawarkan, memang terdapat nama-nama yang sangat menonjol bahkan berkompetensi untuk mendulang suara rakyat. Sebut saja Mahfud MD, Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, Moeldoko, Erick Thohir, Khofifah Indar Parawangsa bahkan Ahok sekalipun.

 Akan tetapi, partai politik seakan-akan menutup pintu bagi akses kesempatan mereka, sehingga hanya ormas dan relawan saja yang menyuarakan hal itu diberbagai media sosial, dimana organisasi dan relawan itu tidak memiliki legitimasi sebagai anggota peserta KPU sebagaimana layaknya partai politik. Berdasarkan hasil survei elektabilitas calon presiden 2024 versi Litbang Kompas pada januari 2022 nama-nama yang muncul pun terlihat menarik. Dimana Prabowo Subianto 26,5%, Ganjar Pranowo 20,5%, Anies Baswedan 14,2%, Sandiaga Uno 4,9%, Agus Harimurti Yudhoyono 3,7%, Basuki Tjahaja Purnama 2,9%. Kesadaran akan minimnya sosok Capres yang menguasai hukum dan konstitusi serta aspek makro dan mikro ekonomi, apalagi penuntasan terhadap sektor lain yang dibutuhkan guna menggerakkan Indonesia dari berbagai lini, tentu membutuhkan kecermatan rakyat dalam memilih pemimpinnya. 

Sebab bukan sekedar penguasaan politik semata yang dicermati guna menggerakkan ekonomi dan lain sebagainya itu, apalagi untuk mempertahankan ideologi dan falsafah negara terhadap gangguan keamanan dan kedaulatan NKRI. Cerminan inilah yang dibutuhkan untuk menjawab bagaimana diplomasi dan negosiasi yang seharusnya seorang Presiden itu menjadi petarung demi mendahulukan kepentingan bangsa dan negara, baik didalam negeri maupun terhadap pihak asing di luaran sana. Sebab jika kita hanya berpikir stabilitas keamanan saja, maka jawaban pilihan capres akan tertuju pada sosok mereka yang berlatar belakang TNI.

 Sedangkan bila kita mementingkan keseimbangan dalam berbagai faktor boleh jadi sosok tersebut tidak datang dari tokoh-tokoh politik saja. Sebab kita membutuhkan hadirnya seorang Presiden yang cakap dalam mengendalikan keamanan serta menjaga kedaulatan dan ideologi negara, meskipun bukan seseorang yang berlatar belakang militer. Sekaligus menjadi sosok yang mampu berdiplomasi kuat terhadap kepentingan ekonomi, sosial, politik, termasuk memahami hukum dan konstitusi negara agar tidak terjadi benturan antara satu dan lainnya terhadap pemisahan bidang kewenangan dari sistem pembagian trias politik yang membatasinya.

 Lalu pertanyaan selanjutnya yang harus kita jawab, adakah sosok yang saat ini digadang-gadang sebagai Capres dan Cawapres, sekiranya bisa masuk pada kriteria yang penulis disebutkan diatas, sehingga bukan semata-mata dari hasil survey yang terlihat menonjol untuk mengungguli pesaing lainnya. Partai politik tidak perlu terlalu menakar kebutuhan capresnya pada bentuk baku yang terlampau sederhana hingga membumbuinya dengan janji-janji kampanye guna memoles capres yang akan diusungnya. Koalisi besar yang saat ini digadang-gadang pun harus mampu pula menjawab kebutuhan standard rakyat atas sandang, pangan dan papan, pendidikan, kesehatan, transportasi murah serta fasilitas publik lainnya, disamping peran pemerintah yang dirasakan terus meningkatkan sumber pendapatan negara bagi kenaikan APBN dalam pengelolaan sumber kekayaan alam Indonesia ke depan, determinasi atas saham-saham perusahaan asing di Indonesia, proses hilirisasi hasil tambang, serta kerjasama Indonesia dengan negara lainnya yang bertumpu pada efisiensi dan keuntungan yang akan diperoleh melalui pengendalian BUMN secara ketat. 

 Itulah sekelumit dari titik Nol kilometer harapan rakyat yang dicita-citakan sejak era kemerdekaan.Walau utang luar negeri Indonesia saat ini diposisi masih aman oleh karena tidak melebihi 40% dari pembatasan UUD sebesar 60%, bukan berarti hal itu bisa dipandang sebelah mata. Sebab jangan sampai pembangunan Jokowi yang telah menampakkan kerangka harapan kemakmuran negara, justru malah pupus oleh salah pilihnya masyarakat terhadap tawaran capres 2024 dari Koalisi besar yang saat ini terbentuk. Apalagi Korupsi pejabat negara tidak kunjung surut, bahkan upaya pembentukan UU perampasan aset menjadi hal yang sulit dimunculkan oleh karena terkait dengan sikap para ketua umum partai yang ada saat ini.

 Lantas kenapa rakyat harus percaya lagi dengan partai politik semacam itu. Maka, tak heran jika rakyat lebih suka menunggu Jokowi akan memberikan sinyal pilihannya ketimbang mendapati deklarasi Capres partai politik yang masih berkabut. 

 Semoga tulisan ini bermanfaat. #jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share🙏 https://www.facebook.com/groups/402622497916418/?ref=share

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TELKOM SINGLE INVOICE

SETTING FAX ONT F660 ZTE