Kekompakan Membawa Petaka Bagi Penjarahan Uang Negara. Penulis Andi Salim

Selalu saja publik lebih memilih suasana yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk kegaduhan yang menimbulkan kebisingan. Apalagi menyangkut orang banyak yang saling berhadapan antara satu dengan lainnya, agar suasana lingkungan masyarakat tetap damai, aman dan sejahtera. Sehingga tak jarang begitu terjadi suatu gejolak ditengah masyarakat, aparat kepolisian dengan sigapnya masuk ketengah pusaran konflik demi menghentikan pertikaian antar pihak untuk mengambil alih berbagai persoalan apapun agar masalah tersebut diselesaikan secara hukum. Hal ini demi menghindari proses main hakim sendiri sekaligus mendapatkan keadilan bagi penyelesaian atas persoalan yang dimaksudkan.

 Mengapa demikian, sebab tanpa campur tangan kepolisian, segala masalah itu dapat berkembang hingga tak jarang berdampak pada pertumpahan darah, bahkan jatuhnya korban jiwa dari lambatnya persoalan itu ditangani. 

 Maka kecepatan atas respon dari pihak kepolisian menjadi ukuran penyelesaian dari banyaknya kasus yang terjadi ditengah masyarakat hingga saat ini. Problem yang ditangani bisa datang dari berbagai penjuru, sebut saja konflik rumah tangga, konflik antar tetangga, antar kampung, antar komunitas dan lain sebagainya. Namun ketika persoalan itu berkembang menjadi lebih luas, seperti kasus antar agama, antar suku, antar ras, tak jarang aparat hukum terlihat gamang dan sulit bertindak secara hukum oleh karena besarnya kapasitas para pihak yang secara horizontal berada di pusaran nasional.

 Pada point ini, negara membutuhkan determinasi aparat penegak hukumnya untuk menciptakan iklim kedamaian, khususnya stabilitas keamanan dalam negeri. Sebab hal itu terkait dengan suasana iklim investasi yang ditanamkan oleh pihak PMA dan PMDN demi melangsungkan berbagai kegiatan usahanya. 

Selain itu, pemerintah sendiri menjadi sulit menerapkan berbagai sasaran programnya sekiranya terdapat instabilitas keamanan. Bahkan hal itu mengganggu aktifitas masyarakat sekaligus berdampak pada keresahan rakyat yang berakibat pada menurunkan rasio angka kebahagiaan masyarakat pada akhirnya. Betapa hal ini menjadi persoalan tersendiri bagi proses penegakkan hukum serta kesiapan bagi para aparatnya, baik secara kualitas mau pun kuantitasnya. Ketimpangan pemberlakuan hukum masih sangat menganga, mengingat rakyat masih saja menjadi objek yang terlemah dari setiap pemberlakuan atas penegakkan hukum di negeri ini. 

Selain itu, pengetahuan akan hukum masyarakat yang lemah selalu saja menjadi sasaran kesewenang-wenangan oleh berbagai bentuk ketegasan sikap dari pihak aparat yang lebih menampakkan ketajamannya terhadap rakyat kecil dari pada mereka yang duduk selaki pejabat negara. Bahkan sanak saudara dari para pejabat itu pun merasakan medan kekuasaan dan kewenangan dari sulitnya penegakkan hukum tersebut bisa menyentuh mereka. 

Walau pejabat tersebut disinyalir melakukan pelanggaran hukum, seperti korupsi, penyalahgunaan kewenangan, gratifikasi dan lain sebagainya. Namun anehnya, proses hukum terhadap mereka begitu terasa lambat bahkan cenderung sulit diungkapkan. 

Ketidaktegasan aparat ini berdampak pada surutnya efek jera dari para pelaku kejahatan terhadap penegakkan hukum di negeri ini. Pelaku kejahatan yang berasal dari personal white collar crime ( kejahatan kerah putih ) banyak datang dari oknum pejabat yang berhubungan dengan penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan, seperti kejahatan korupsi, kolusi, dan nepotisme, hingga aksi yang mereka lakukan menyebabkan nilai kerugian negara yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Hal itu terlihat pada Pemberitaan detiknews tertanggal 21/12/2018 menyebutkan mandeknya penanganan perkara di Kepolisian mencapai 56 persen, penyimpangan prosedur 16 persen, tidak memberikan pelayanan 10 persen. Demikian info dari komisioner Ombudsman Adrianus Meliala. 

 Apalagi jika kita menyimak atas TPPU yang dilaporkan PPATK senilai 349 triliun yang terjadi di lingkaran kementerian keuangan, apakah hal itu dianggap kasus mencurigakan atau perbuatan tindak pidana. Namun berita tersebut begitu menghebohkan publik hingga perlunya dibentuk tim satgas khusus dalam penanganan perkara tersebut. Dimana Satgas ini nantinya akan menindaklanjuti laporan hasil analisis atau laporan hasil pemeriksaan dengan membangun konstruksi kasus sejak awal.

 Akan tetapi, besarnya nilai TPPU itu tidak serta merta membuat aparat Kepolisian untuk masuk kedalam kancah yang disinyalir merugikan negara tersebut. Betapa sikap Kepolisian masih menunggu adanya laporan dari berbagai pihak untuk memperoleh bukti-bukti yang valid guna bertindak secara hukum. Tidakkah hal ini menampakkan lambatnya penanganan suatu kasus dari mereka yang diduga melakukan kejahatan namun memiliki kekuasaan dan kewenangannya di atas.

 Padahal, jika dilihat dari jumlahnya saja tentu membuat bulu kuduk siapapun berdiri. Angka Rp 349 triliun yang menggemparkan itu nyaris setengahnya dari angka persetujuan Rapat Paripurna DPR RI tanggal 30 September 2021 yang menyetujui Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2022 untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Salah satu bagian terpenting dari rapat tersebut adalah mensahkan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), yang jumlahnya mencapai Rp 769,61 triliun, terdiri atas transfer ke daerah sebesar Rp701,61 triliun dan dana desa sebesar Rp 68,00 triliun. 

 Pihak kepolisian harus mengambil angle yang tidak boleh terpaku dari standard lengkap pemberkasan atas aturan standard P-21 yang mereka terapkan. Sebab kerugian negara tidak lagi terjadi berdasarkan periodik tahunan tapi sudah mengarah pada hari demi hari bahkan detik demi detik hal itu masih terjadi hingga hari ini.

 Jika pada kasus Antasari Azhar pihak kepolisian dengan cepat memunculkan skenario dugaan terjadinya kejahatan, namun mengapa pada kasus kasus besar atas TPPU Rp 349 triliun ini publik tidak disajikan dengan pemberitaan semacam itu yang terkesan pihak kepolisian tidak menguasai masalah hingga hanya diam, serta menunggu laporan dari pihak-pihak lain guna menetapkan status dari perkaranya.
Padahal sudah ada pihak yang mencurigai jika terdapat dua orang setingkat eselon 1 yang bermain di lingkaran kemenkeu tersebut.


 Penulis : Andi Salim ( Ketua Toleransi Indonesia) Dikutip dari : www.harianmerdeka.id Terimakasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TELKOM SINGLE INVOICE

SETTING FAX ONT F660 ZTE