ADU KUAT LEGITIMASI DEMOKRASI SBG REPRESENTASI SUARA RAKYAT Penulis : Andi Salim

Sudah saatnya rakyat menampakkan soliditasnya pada gerbong demokrasi yang sama sekali tidak lagi perlu ikut membesarkan partai-partai apapun guna melawan keinginan para elit partai itu dalam membangun poros kepentingan kekuasaan. Toh faktanya, kekuasaan yang mereka peroleh hanya bertujuan membawa iklim konstitusi negara kearah eksklusifitas bagi peran dan kepentingan mereka semata yang justru menekan kehendak rakyat itu sendiri. 

Sehingga representasi keterwakilan rakyat terhadap partai politik tidak mencerminkan peran yang memberikan arah bagi segenap perbaikan bangsa dan negara, sekaligus membangun poros kesejahteraan rakyat. Lalu demokrasi macam apa yang kita miliki saat ini, apalagi perlakuan korupsi semakin merajalela hingga menyebabkan kerugian keuangan negara yang sedemikian fantastis. Bukankah indeks persepsi korupsi harus ditekan namun mekanisme pengungkapannya yang justru terkesan dihambat. Angka kerugian negara akibat peran korupsi yang dibiarkan pun terus meningkat bahkan semakin besar nilainya. Jika dahulu kita mendengar istilah mencatut / pungli dari pembesaran budget anggaran yang semestinya, kini para koruptor itu telah masuk kedalam pusaran anggaran hingga mencuri secara kasat mata. Keberanian merampok negara ini bersumber pada penegakkan hukum melalui vonis-vonis yang sama sekali tidak memberikan efek jera bagi surutnya perbuatan korupsi itu sendiri. Bahkan tak sedikit dari orang-orang tertentu yang merasa bahwa bila bisa melakukan korupsi, maka sesungguhnya itu level prestisius yang tidak semua orang bisa melakukannya. Lantas apa yang diharapkan sekiranya pemerintah tak mampu mengatasi persoalan ini. Sistem demokrasi saat ini sama sekali hanya menghantarkan agar rakyat tertipu oleh pilihan-pilihan politik yang merugikan rakyat itu sendiri. Sebab betapa tidak, kita hanya dihadapkan pada choice jika tidak tertipu oleh partai A maka kita akan dikelabui pada pilihan partai B dan seterusnya. Artinya, jika masyarakat tidak dimakan gerombolan Singa, ada kemungkinan kita semua akan ditelan oleh sekumpulan Buaya. Sementara mekanisme konstitusi sama sekali tidak berperan dalam proses perbaikan bernegara. Katakanlah target pembuatan UU pun semakin menyandera antara arogansi DPR yang notabenenya wujud keinginan rakyat, dengan tampuk kekuasaan Presiden yang telah dipilih secara langsung.

 Sehingga peran keduanya hanya menampakkan kecongkakan dari atas nama rakyat yang melekat pada mereka, hingga proses saling sandera pun tak terhindarkan. Dari peran Legislatif yang lemah tentu menyebabkan sarana hukum yang lemah pula. Sehingga fungsi Yudikatif sebagai bagian dari peran kekuasaan negara semakin sulit menerapkan mekanisme hukum yang semestinya tegak. Hukum saat ini terkesan melakukan tindakan normatif dibalik ketukan vonisnya yang hambar, bak lauk tanpa garam. Apalagi posisi mereka dipengaruhi oleh jaringan para koruptor yang siap menggusur keimanan dan integritas mereka dari ketertarikan untuk meninggalkan pola hidup sederhana. Sebab kejujuran tidak lagi diartikan sebagai prestasi terhadap sebuah pengabdian kepada negara, apalagi pengakuan moralitas keagamaan. Bahkan pihak-pihak agama kini pun ikut mendulang aliran uang kotor yang sengaja didistribusikan kepada mereka. 

Sebutan korupsi berjemaah bisa saja menyinggung persepsi keagamaan namun faktanya hal itu menjadi sulit dibantahkan. Peran KPU yang tak lain hanya mengindikasikan formalitas bagi keikutsertaan predator-predator konstitusi itu. Agar setiap keganasannya bisa dimaknai sebagai tindakan yang legal pun tak lagi berkutik. Bahkan gugatan penundaan pemilu oleh partai Prima mampu menghentakkan proses berpikir, jika pesta rakyat itu bisa dihentikan oleh keputusan dari segelintir hakim yang memupuskan seluruh kepentingan rakyat. Tak bisa dibayangkan jika seorang hakim akan mengetuk palunya bagi hebohnya kasus 349 triliun di kementerian keuangan untuk selanjutnya menetapkan bahwa rakyat tak lagi wajib membayar pajaknya. Lalu dengan cara apa pemerintah mampu merubah keputusan hakim tersebut, sekaligus mendatangkan sumber keuangan baru sebagai pendapatan guna membiayai anggaran negara, dimana jalur kewenangannya yang terpisah oleh sistem Trias Politika. Sehingga wilayah kewenangan eksekutif yang tidak boleh masuk kedalam ranah yudikatif, terlihat mampu memaksa pemerintah untuk melandasi kebijakannya pada ketukan palu yang tentunya akan menghantui republik ini nantinya. Betapa mengherankan jika kita mendengarkan komentar para pengamat hukum yang masih riskan dalam mengomentari keputusan para hakim. Seolah-olah keputusan yang mereka buat sebagai kehendak Tuhan yang layak untuk dikeramatkan, dimana ayat suci saja masih mampu ditafsirkan oleh para pakar agama yang tentu saja berbeda antara satu dengan lainnya sehingga berujung pada mazhab-mazhab sebagaimana faktanya hingga saat ini. Paradigma semacam ini harus dibantah dan semestinya terbantahkan. Sebab tidak ada yang absolut kecuali Tuhan itu sendiri, dimana manusia masih menjadi sarang dari setiap kesalahan. Kebaikan negara untuk memberikan peluang apresiasi tidak boleh terkubur oleh instrumen kebenaran apapun.

 Sebab konstitusi boleh saja mengambil posisi untuk menetapkan standard kebenarannya yang berbeda, walau hal itu dapat saja bertentangan dengan persepsi agama sekalipun. Perbedaan sudut pandang dari aspek keyakinan terhadap kebenaran adalah mekanisme yang relatif dari segenap pengakuan agama yang ada. Karenanya, penetapan kebenaran harus merujuk pada sifat Toleransi yang tidak boleh dikangkangi oleh kepentingan salah satu diantara agama yang diakui keberadaannya. Maka, tak jarang jika pengakuan kebenaran dari agama yang satu akan berbeda dengan pengakuan agama yang lain. Sebab konstitusi berdiri pada kehendak rakyat yang bisa saja datang dari pemikiran semua golongan, termasuk mereka yang tidak mengakui adanya Tuhan sekalipun. Singkat cerita, mekanisme bernegara adalah sekumpulan keinginan untuk mendorong pada kebaikan bersama. Pemerintah tidak boleh membangun loyalitas dan relasi pada upaya yang menyebabkan kerugian bagi dirinya sendiri, oleh karena tujuan bernegara demi mensejahterakan dan memperoleh kemakmuran bagi rakyatnya. 

Sehingga pajak-pajak yang dibayarkan rakyat itu sebesar-besarnya bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat yang notabenenya bukan aparatur pejabat dan ASN sebagai pengelola pemerintahan saat ini. Pernyataan Prof Mahfud MD yang menyebutkan jika sekarang menoleh ke mana saja ada korupsi, tentu mengkonfirmasi bahwa korupsi di Indonesia sudah begitu terstruktur dan masif sifatnya. Jangan sampai rakyat pada akhirnya menggunakan asas 'Salus Populi Suprema Lex Esto' atau 'Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi' yang semestinya hanya bisa digunakan ketika pemerintah mengalami status kedaruratan namun akan diberlakukan saat ini.


 Semoga tulisan ini bermanfaat. #jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share🙏 https://www.facebook.com/groups/402622497916418/?ref=share

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TELKOM SINGLE INVOICE

SETTING FAX ONT F660 ZTE